Breaking News

SUARA JEMBER NEWS, Hampir setiap hari tempat parkiran Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Jember penuh sesak dengan ratusan motor. Pemandangan lain di ruang tunggu juga tak kalah riuh dengan manusia hilir mudik sambil memegang dokumen-dokumen pengurusan administrasi. Kursi ruang tunggu tidak ada yang kosong, bahkan sebagian orang memilih berdiri atau menunggu di luar kantor.

Inilah pemandangan yang bisa kita saksikan hari ini. Bahkan setiap tahunnya Pengadilan Agama (PA) Jember selalu kebanjiran perkara perceraian, mulai dari cerai talak dan cerai gugat. Selama tahun 2022, PA Jember telah mengantongi 6.057 perkara tentang perceraian atau 12.114 orang cerai. (RadarJember.id, 8/1/2023)

Tentu saja ini bukan berita yang menggembirakan dan pemandangan yang menyejukkan hati. Merasa miris lalu bercermin diri bagaimana kita menjaga jalinan suci ikatan perkawinan di tengah fenomena ratusan hingga ribuan pasangan memilih mengakhiri biduk rumah tangga pernikahan. Semua rumah tangga pasti diuji dengan berbagai masalah. Ada yang masalah ringan hingga terkategori berat. Ada yang memilih bersabar, ada juga yang akhirnya saling melepaskan.

Cerai, Apakah Solusi Final?

Allah telah mengkaruniakan kepada manusia berupa naluri. Setidaknya ada tiga jenis naluri yang dimiliki oleh manusia sejak dia dilahirkan di dunia. Setiap manusia, Allah berikan naluri beragama, naluri melestarikan keturunan dan naluri mempertahankan diri. Manifestasi dari naluri beragama adalah setiap manusia ada kecenderungan mengagungkan atau mengkultuskan sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan yang lebih besar daripada dirinya. Sedangkan naluri melestarikan keturunan terwujud pada diri manusia berupa rasa kasih sayang, mencintai, mengasihi satu dengan yang lainnya. Naluri mempertahankan diri terwujud pada diri manusia yang menjadikannya memiliki rasa marah, kecewa, sedih, ingin dipuji, dan lainnya.

Naluri akan muncul karena ada dorongan dan rangsangan yang bersumber dari luar tubuh manusia. Sehingga dalam memenuhi nalurinya, manusia harus tetap memperhatikan kaidah yang sudah Allah tetapkan, tidak membabi buta dan asal-asalan. Seperti naluri melestarikan keturunan akan mendorong manusia untuk mengekspresikan rasa cinta dan sayang kepada lawan jenisnya. Dalam islam, pemenuhannya adalah dengan jalan pernikahan.

Ikatan suci pernikahan adalah perjanjian agung (mitsaqan ghalidzan) antara sepasang manusia dengan tujuan untuk memperbanyak keturunan. Inilah tujuan utama dari sebuah pernikahan. Kehidupan pernikahan menurut islam adalah keseluruhaannya bernilai ibadah. Allah telah menetapkan pahala bagi pasangan suami istri yang menjalankan kewajibannya masing-masing dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.

Namun tidak kita pungkiri di tengah masyarakat muncul berbagai macam pemikiran semisal ide gender feminisme yang menganggap posisi wanita dibawah kaum lelaki, termasuk dalam hal pernikahan. Kaum feminis menganggap bahwa tugas domestik seorang istri telah mengukung kebebasaannya sebagai seorang manusia. Menurut mereka, kesetaraan gender dalam keluarga menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar di saat sekarang. Bukan hanya terkait dengan kesetaraan kedudukan suami istri yang menjadikan suami istri memiliki peran yang setara dalam pengambilan keputusan atau perencanaan keluarga ke depan, tetapi juga dalam berbagi peran suami isteri dalam mengurus rumah tangga, menambah penghasilan, maupun mengasuh dan mendidik anak. Padahal ide inilah yang menyebabkan kekacauan karena tidak ada kejelasan penanggung jawab masing-masing suami istri dalam kehidupan rumah tangga.

Atas nama gender ini kemudian kaum perempuan berbondong-bondong mengaktualisasikan dirinya untuk bebas menentukan sikap, misal tidak mau hamil, tidak mau melayani suami, dan lain sebagainya hingga memunculkan konflik rumah tangga. Terlebih di saat kondisi seperti saat ini pasca hantaman pandemi covid-19 perekonomian belum sepenuhnya pulih. Bahkan ancaman resesi di tahun ini menghantui dan menyebabkan beberapa perusahan melakukan antisipasi demi efisiensi perusahaan dengan melakukan PHK secara massal. Akibatnya angka pengangguran meningkat, sedangkan lapangan pekerjaan belum memadai. Hal ini berimbas pada kondisi keluarga yang makin rentan ketahanannya. Pemberdayaan ekonomi perempuan dianggap bisa mensolusi konflik rumah tangga ini. Akhirnya kaum perempuan lebih sibuk dengan program ini daripada menjalankan fungsi utamanya sebagai ibu sekolah pertama dan utama serta sebagai pengatur rumah tangga. Ketimpangan pun terjadi karena akhirnya fungsi suami sebagai pencari nafkah tergantikan oleh istri. Sehingga kemandirian ekonomi inilah yang menyebabkan salah satunya istri menggugat cerai suami.

Sadar Hak dan Kewajiban

Islam telah menempatkan segala sesuatunya sesuai dengan tujuan penciptaan. Islam mendorong para suami untuk menjalankan kewajiban utamanya sebagai sebuah aktivitas yang bernilai ibadah. Begitu juga seorang istri dalam menjalankan kewajiban rumah tangganya adalah ibadah. Suasana ibadah inilah yang seharusnya menjadi pengikat hubungan antara suami istri serta anggota keluarga.

Dengan dorongan ibadah, akan tercipta harmonisasi di antara suami istri. Tidak ada rasa superior inferior bahkan jauh dari gambaran hubungan antara majikan dan pembantu. Suami bertanggung jawab memberikan nafkah lahir batin kepada istrinya serta mendidik istrinya dan melindungi anggota keluarga dari perkara yang jauh dari aktivitas bernilai ibadah. Istri bertanggung jawab mengatur rumah, mengasuh anak-anak dan menjaga kehormatan suaminya semata karena ibadah. Jika hal tersebut dilakukan, maka dorongan saling membantu dan meringankan semua kewajiban akan muncul tanpa harus menuntut satu dengan yang lain.

Nuansa ibadah ini agar senantiasa terjaga maka dibutuhkan suasana masyarakat yang kondusif juga. Di dalam masyarakat saling menjaga interaksi sosial antara pria dan wanita, sehingga menutup celah terjadinya perselingkuhan dan perzinahan. Terlebih lagi jika suasana tersebut juga didukung oleh negara dalam menjaga ketahanan keluarga. Mulai dari aspek ekonominya, negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang terjangkau secara merata bagi semua rakyat. Lapangan pekerjaan disediakan dan dibuka sebanyak-banyaknya terutama untuk kaum pria, bukan sebaliknya. Meniadakan transaksi ribawi karena ini juga jadi ujung pangkal persoalan keluarga akibat jeratan utang riba.

Dalam bidang pendidikan dan kesehatan yang merupakan kebutuhan dasar yang sifatnya komunal, negara hendaknya menyediakan kedua nya dengan kualitas terbaik untuk semua lapisan masyarakat, bukan menjadikannya sebagai barang komersil. Dalam aspek sosial, negara bisa mengatur interaksi dan melakukan pembatasan media-media yang membangkitkan rangsangan yang sifatnya seksual, bukan malah melegalkan. Ketegasan sanksi hukum bagi pelaku perzinahan juga sangat dibutuhkan agar menimbulkan efek jera baik bagi si pelaku maupun bagi masyarakat yang mengetahui hal tersebut.

Dengan demikian upaya untuk menurunkan angka perceraian sangat dimungkinkan sekali jika mulai dari ranah individu dan keluarga, masyarakat dan negara satu visi dalam membangun ketahanan keluarga. Hal ini tidak hanya menyelematkan sebuah keluarga dari perceraian, namun juga menjaga peradaban suatu bangsa agar tidak musnah akibat rapuhnya ketahanan keluarga.

 

 

Oleh: Laily Ch. S.E (Pemerhati Sosial)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »